SURABAYA, Jatim Today – Kali Jagir diduga menjadi tempat pembuangan jasad Moerachman, mantan Walikota Surabaya yang hilang paska tragedi Gerakan 30 September meletus. Jejaknya menghilang bersama sejumlah pejabat kota pahlawan setelah dicap komunis.
Sebagian buku sejarah menulis jika jasad Moerachman dikubur di area Penjara Kalisosok, Surabaya. Namun menurut kesaksian Handoko selaku Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 65 Jawa Timur, tidak demikian.
Ketua YPKP 65 Jawa Timur itu sebenarnya tidak banyak tahu tentang Moerachman. Maklum, ketika tragedi berdarah terjadi, Handoko masih duduk di bangku sekolah.
“Saya baru dua bulanan sekolah kelas satu di SMA Negeri I Surabaya. Di Jalan Wijaya Kusuma,” kata Handoko, Jumat (23/9/2023).
Namun jika ditelusuri berdasar ceritanya, Moerachman memang tidak dikubur di area Penjara Kalisosok, melainkan diduga dibuang ke Kali Jagir. Wilayah Kedung Baruk, Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya.
Cerita Moerachman terselip dalam perjalanan kelam hidup Handoko. Saat dirinya berjuang mencari keberadaan bapaknya, Mochamad Sarkawi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Surabaya dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sarkawi diculik tentara, bersama rekan-rekan separtainya. Toyo dan Bunadi, termasuk Walikota Moerachman. Mereka hilang di akhir tahun 1965, ditengah gelombang protes massa yang menuntut pembubaran PKI.
Handoko menyampaikan, keberadaan bapaknya, Sarkawi, baru ditemukan setelah dua bulan pencarian. Sarkawi bersama para tokoh, salah satunya Moerachman, ditahan di markas tentara wilayah Gunungsari, Kota Surabaya.
Meski demikian, aparat keamanan tak lantas membiarkan para tahanan bertemu keluarga. Baru sebulan kemudian, mereka boleh dijenguk.
“Ayah saya sudah dalam kondisi kepala digundul,” kata Handoko mengenang.
Setelah itu, pertemuan tidak terjadi lagi. Sarkawi, Moerachman dan kawan-kawan, hilang untuk selamanya.
“Bapakmu dibawah ke Sukabumi,” kata Handoko menirukan kalimat yang diucapkan aparat keamanan.
Kata Sukabumi menurut Handoko bukan merujuk pada daerah di Jawa Barat, melainkan sebagai kata plesetan yang berarti bapaknya sudah dikebumikan atau meninggal dunia.
Walau begitu, Handoko tidak patah arang. Anak kedua dari tujuh bersaudara ini tetap gigih mencari jejak sang ayah. Sampai-sampai ia rela menyandang status sebagai tahanan politik karena dikait-kaitkan dengan PKI.
Sembilan tahun sejak 1970, Handoko dipaksa merasakan dinginnya penjara. Mulai dari rumah tahanan di Undaan (kini jadi Rumah Sakit Adi Husada), Penjara Kalisosok, Pulau Nusa Kambangan hingga menghuni Pulau Buru di Maluku.
“Padahal saya tidak tahu apa-apa, saya nggak ngurusi soal partai. Yang saya cari itu ayah saya, dimana jasadnya,” tandasnya.
Nah saat menghuni Penjara Kalisosok itulah, Handoko mendapat informasi tentang keberadaan jasad bapaknya dari Heru Tanu dan Dokter Lili. Dua tahanan politik yang luput dari maut.
Keduanya bercerita kepada Handoko bahwa sempat diangkut menggunakan truk tentara hendak dieksekusi bersama Sarkawi, Moerachman dan kawan-kawan.
Orang-orang ini diboyong dari wilayah Gunungsari menuju Kali Jagir, Kedung Baruk, Surabaya. Ditengah perjalanan, persis sebelah timur Stasiun Wonokromo, truk tiba-tiba diberhentikan oleh sebuah jeep, meminta supaya Heru Lili dan Dokter Tanu turun.
Keduanya lalu dibawa menuju ke Penjara Kalisosok untuk menjalani hukuman badan hingga akhirnya bertemu Handoko.
“Sedangkan bapak dan Walikota Moerachman SH tetap berada di truk. Diangkut sampai ke ujung Kali Jagir, yang saat ini jadi Jalan (Ir) Soekarno itu. Ya mereka semua dihabisi menurut Heru Lili dan Dokter Tanu,” pungkasnya.
Dikutip dari Buku Sejarah Pemerintah Kota Surabaya karya Purnawan Basundoro, Moerachman diangkat sebagai Walikota Surabaya pada Bulan November 1963, menggantikan Dr Satrio yang terpilih sebagai Wakil Gubernur Jawa Timur.
Moerachman ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai Walikota Surabaya berdasarkan usulan dari PKI dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Ia merupakan politisi muda lulusan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Kota Surabaya.
Dia juga aktif di Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang lekat dengan PKI. Dan pernah menjadi delegasi mahasiswa pada Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955.
Pidato pelantikan Moerachman yang terkenal berjudul Terompet Masjarakat. Dimuat secara berseri oleh media massa, yakni tentang upaya mengatasi kesulitan berbangsa dan bernegara melalui Manifestasi Politik.
“Berpidjak kepada Manipol segala tugas2 dan kesulitan tsb diatas akan dapat diselesaikan atas dasar kerdja sama antara aparat Pemerintah Daerah dgn aparat2 pemerintah lainnja dan antara Pemerintah Daerah dgn kekuatan Rakjat… Kemampuan Kotapradja Surabaja jang terbatas apabila dikombinasikan dengan kekuatan massa rakjat jang penuh daja kreatif akan lebih banjak lagi pekerdjaan2 dapat diselesaikan,” bunyi pidato pelantikan Moerachman.
Tidak ada komentar